Posts Tagged ‘Gempa’

Republika, 15 Maret 2007

Minangkabau bagian penting dari budaya bangsa Indonesia sekaligus sebagai world heritage. Tidak hanya simbol kebesaran Pagaruyung yang kini telah hangus, Ranah Minangpun terkoyak oleh gempa hebat.

Sebelum gempa mengentakkan Sumatera Barat, selasa (6/3), Istano Basa Pagaruyung terbakar pada Selasa malam (27/2). Sambaran petir menghanguskan duplikat istana Raja Alam Pagaruyung itu. Warga tanah datar pun berduka. Istana yang menjadi kebanggaan selama ini tinggal puing-puing arang hitam.

“Betapa hati takkan sedih melihat musibah ini”, kata Bupati tanah datar, M Shadiq Pasadique dengan mata berkaca-kaca. Tak pelak sengatan petir ini menghanguskan kebanggaan Luak Nan Tuo yang identik dengan Istano Basa Pagaruyung. Ranah Minangkabau sekali lagi kehilangan simbol budaya yang dicintainya.

Pagaruyung sebuah negeri tua. Jika waktu boleh diputar ke belakang, beberapa abad silam, boleh jadi Ibukota Sumatera Barat bukan padang. Melainkan Pagaruyung. Di masa kejayaan Pagaruyung kala itu, hanya ada satu istana. Yakni Rumah Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Lindungan Bulan sebagai istana raja. Istana ini pernah terbakar pada 1804, menyusul sebuah kerusuhan berdarah. Kemudian dibangun lagi dan untuk kedua kalinya pada 1966 istana sarat sejarah ini terbakar kembali.

Pertengahan 1970-an, Gubernur Harun Zain menggagas pendirian Istano Basa sebagai duplikat Istana Si Lindungan Bulan. Hal ini sebagai simbol pemersatu Minangkabau, sekaligus untuk membangkitkan harga diri masyarakat yang kala itu masih trauma dengan PRRI.

Posisi pembangunan Istano Basa yang sekarang telah hangus ini, batagak tunggak tuo (mendirikan tiang utama) dilakukan pada 27 Desember 1976. Letak istana berada di padang gembalaan ke arah selatan di atas tanah milik ahli waris kerajaan. Berdiri gagah sebelum terbakar dengan keindahan Gunung Bungsu di belakangnya, seakan menunjukkan kebesaran dan kejayaan Pagaruyung di masa lampau.

Sekilas sejarah. Kerajaan Pagaruyung didirikan seorang peranakan Minagkabau – Majapahit bernama Adityawarman pada 1347. Ia putra Mahesa Anabrang, panglima perang Kerajaan Sriwijaya dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia juga pernah bersama Mahapatih Gajah Mada menaklukkan Bali dan Palembang. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira abad ke-16 melalui musafir dan guru agama yang singgah dari Aceh dan Malaka.

Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, sosok yang dianggap pertama kali menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi Kesultanan Islam. Raja Islam pertama bernama Sultan Alif.

Kini, Istano Basa, Lebih dari sekadar area wisata. Di hati urang awak, keberadaan Istano Basa menjadi simbol pemersatu, sejarah, dan kejayaan sebuah negeri. Minagkabau bagian penting dari budaya bangsa Indonesia sekaligus sebagai salah satu warisan dunia (world heritage). Meski kini tinggal arang, musibah ini menjadi momentum untuk membangun kembali Istano Basa, sekaligus melakukan revitalisasi nilai-nilai adat dan kebudayaan Minangkabau dalam arti luas. Momentum untuk ‘mambangkik batang tarandam’.

Spirit Pagaruyung

Jika tidak ada aral melintang, 24 Maret nanti di halaman puing Istano Basa Pagaruyung di Jalan Sutan Alam Bagargasyah Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kab Tanah Datar akan digelar pentas budaya Minangkabau. Sebagaimana hasil musyawarah Baznas – Dompet Dhuafa Republika yang diwakili Direktur Program, Kusnandar dengan Pemerintah Daerah Tanah Datar, yang diwakili Wakil Bupati, Aulizal Syuib, Rabu (14/3), gelar budaya ini sebagai tonggak recovery pasca gempa.

Menilik sejarah Pagaruyung, spirit kejayaan sejarah Minangkabau ini akan lebih mudah mempercepat pembangunan kembali korban gempa. Bangun dari keterpurukan, bangun mandiri untuk menata ekonomi kembali, dan segera bangun dari kedukaan. Seperti Istano Basa Pagaruyung yang terbakar, lalu berdiri kembali, terbakar dan berdiri kembali.

Gelar budaya Istano Basa pagaruyung bertajuk “Retak di Ranah Minang” ini akan menghadirkan seribu anak korban gempa. Di antara seni yang dipentaskan, yakni melukiskan kembali wujud Istano Basa Pagaruyung. Juga pagelaran tari dan teater yang melibatkan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STIS) Padang Panjang.

Sebagaimana disampaikan penggagasnya, M Arifin Purwakananta, gelar budaya ini sekaligus sebagai ajang membetot perhatian publik untuk terpantik empati membangun kembali Istano Basa. Dalam tataran kecil aktivitas ini sebagai konseling trauma berbasis wisata bagi anak-anak dan masyarakat korban gempa.

Upaya konseling trauma berbasis wisata ini memang menargetkan dua hal. Membantu mengatasi trauma akibat bencana serta membangun minat siswa untuk mencintai budaya dan wisata. Pilihan pelaksanaan di Istana Pagaruyung, bukannya tanpa alasan. Keberadaan istana ini terkait erat dengan sejarah Minangkabau itu sendiri.
Tak berlebih jika niat baik ini mendapat dukungan dan apresiasi dari banyak pihak. Terutama masyarakat Tanah Datar sendiri. Banyak cara memang yang dapat dilakukan untuk melakukan recovery pasca gempa di Sumatera Barat. Kiranya, pintu budaya telah menjadi pilihan Baznas – Dompet Dhuafa Republika untuk berusaha menambal retak di ranah minang.

Minggu, 11 Juni 2006

Koran Tempo – Laporan Utama

Bermacam cara dilakukan lembaga nirlaba untuk menghimpun dana. Ada yang lewat pesan pendek.

Sabtu, 27 Mei 2006, pukul 08.00. Satu pesan pendek menyelusup ke telepon seluler Arifin Purwakananta, Manajer Umum Fund Raising Yayasan Dompet Dhuafa: “Di Yogyakarta gempa. Rumah-rumah runtuh. Banyak yang meninggal.”

Pesan itu datang dari salah seorang pengurus Baitul Mal wa Tamwil, rekan kerja sama Dompet Dhuafa. Arifin, yang sedang santai di akhir pekan itu, tersentak. Dia kontan menelepon balik si pengirim pesan.

Setelah mendapat konfirmasi valid, Arifin menelepon semua anggota pengurus yayasan. Pukul 11.00, rapat manajemen digelar di kantor yayasan di Jakarta Selatan. Hasilnya, ditunjuk dua orang untuk memimpin aksi pemberian bantuan dan penggalangan dana.

Arifin didaulat menjadi koordinator penggalangan dana di Jakarta. Bak komputer yang sudah diprogram, manajemen krisis bergerak otomatis. Ada yang menyediakan dana, kendaraan, atau personel sukarelawan.

Selama anggota pengurus menyiapkan kebutuhan, Arifin, yang memegang komando, mengontak Dompet Dhuafa di Yogyakarta dan Solo. Dan tanpa banyak omong, pukul 17.00, bantuan diberangkatkan menggunakan empat kendaraan–salah satunya ambulans. Dana Rp 750 juta segera dialokasikan.

Mengapa dana begitu cepat tersedia? Yayasan yang berdiri sejak 12 tahun lalu ini memang menyediakan rekening khusus di sejumlah bank. Rekening itu untuk menampung zakat, infak, dan sedekah rutin. Inilah yang membedakan Dompet Dhuafa dengan lembaga lain yang baru bereaksi ketika bencana sudah terjadi.

Dana tersebut lantas disalurkan melalui Baitul Mal wa Tamwil di daerah bencana. “Ketika bencana terjadi, sudah ada uangnya. Jadi lebih cepat disalurkan,” kata Arifin. Dompet Dhuafa juga memiliki jaringan sukarelawan ekonomi yang bekerja sama dengan para pedagang di daerah.

Agar dana cepat terhimpun, yayasan ini membuka layanan pesan pendek bekerja sama dengan Bank BNI. Biaya yang dikeluarkan untuk pesan pendek akan disumbangkan kepada korban gempa.

Pos-pos penyaluran sumbangan pun dibuka, bekerja sama dengan beberapa pasar swalayan, seperti Carrefour, Giant, dan Alfamart. “Kami juga memberikan layanan kemudahan menjemput donasi,” kata Arifin.

Untuk menjaga kepercayaan penyumbang, yayasan ini menyediakan layanan agar penyumbang mudah mengecek penggunaan sumbangan mereka melalui layanan pesan pendek. Nama-nama penyumbang dan laporan audit dana bantuan diumumkan melalui media massa. “Prinsipnya, Dompet Dhuafa menjalankan manajemen amanah dalam menggunakan dana publik,” ujar Arifin.

Seperti Dompet Dhuafa, Sampoerna Foundation bertahan berkat manajemen krisis. Ketika gempa melumat Yogyakarta dan Jawa Tengah, jajaran pemimpinnya langsung menggelar rapat dadakan di Jakarta. Mereka sepakat menyediakan bantuan untuk korban gempa yang dihimpun dari dana yang digunakan khusus untuk bantuan.

Tim sukarelawan dikirim Sabtu sore itu juga, bergabung dengan tim yang telah tersedia di Yogyakarta. “Kami langsung berkoordinasi, termasuk dengan Pemerintah Daerah Bantul,” kata Hendri B. Satrio dari Bagian Komunikasi Sampoerna Foundation.

Tim itu dibantu oleh jaringan mahasiswa penerima beasiswa dari yayasan ini di Yogyakarta. Bahkan para mahasiswa tersebut membantu mencarikan titik-titik untuk mendirikan posko.

Dalam pertanggungjawaban bantuan, yayasan ini termasuk serius dan apik. Untuk bantuan korban bencana, yayasan ini mengeluarkan buletin berisi laporan-laporan terbaru kepada para penyumbang.

Manajemen bencana Palang Merah Indonesia bergerak lebih cepat. Dengan atau tanpa komando, PMI Cabang Yogyakarta langsung bertindak begitu gempa terjadi. “Keselamatan jiwa yang paling utama,” kata Hadi Kusoyo, kepala Subdirektorat Humas PMI.

Bantuan terus dikoordinasi dengan gudang-gudang PMI di daerah bencana dan daerah terdekat untuk menjaga kelangsungan pasokan. Karena itu, kata Hadi, petugas di lapangan harus membuat laporan pengkajian kebutuhan ke PMI pusat setiap hari.

Palang Merah Indonesia, yang berusia sama dengan republik ini, juga menyediakan rekening untuk bantuan rutin selain rekening khusus untuk korban gempa Yogya. “Penyediaan rekening khusus ini untuk memudahkan audit nantinya,” kata Hadi.

Mengenai penyaluran bantuan, PMI memiliki prosedur operasi standar sesuai dengan instruksi Palang Merah Internasional, yang bermarkas di Jenewa, Swiss. Bantuan disalurkan melalui PMI daerah yang tersebar di 30 provinsi serta PMI cabang di 378 kabupaten dan kota di Indonesia. “Jaringan dan ketersediaan sukarelawan memang stand by, ada atau tidak ada bencana,” ujar Hadi.

PMI juga memberikan laporan pertanggungjawaban dan audit yang selalu diumumkan untuk menjaga kepercayaan berbagai pihak. Hingga saat ini, program penggalangan dana PMI yang masih berjalan adalah Bulan Dana PMI.

Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), yang mengkhususkan kegiatannya dalam evakuasi korban dan pelayanan kesehatan untuk korban bencana, juga bergerak cepat. Meski menyediakan rekening bantuan, MER-C biasanya tak memberikan bantuan uang, tapi menyediakan peralatan kesehatan.

Jose Rizal Jurnalis, Ketua Presidium MER-C, mengatakan kebanyakan bantuan berasal dari masyarakat. Pasukan tangguh MER-C terdiri atas para dokter. MER-C memiliki sejumlah rekening untuk setiap daerah bencana dan konflik. Rekening itu dinamai rekening amanah. “Misalnya rekening amanah Aceh, Irak, dan Afghanistan,” kata Jose.

Dengan dana itu, MER-C mengirimkan bantuan kesehatan satu paket dengan sukarelawan dokternya ke daerah-daerah bencana dan konflik itu. Sama seperti lembaga lain, MER-C mengumumkan laporan kepada publik melalui media massa.

Kerja sama MER-C dengan sejumlah pihak di bidang kesehatan terus berjalan. Misalnya dengan bank BNI dalam memberikan layanan kesehatan masyarakat di 60 klinik di Indonesia.

Indonesia, yang memiliki wilayah amat luas sekaligus rawan bencana alam, memang amat membutuhkan tumbuh dan berkembangnya lembaga “sinterklas” dengan manajemen terbuka dan cepat beraksi ketika bencana terjadi. ALI ANWAR | AMI AFRIATNI | ERWIN DARIYANTO